Bentuk
Bulat Planet Bumi | Artikel Islami Al-quran dan Astronomi
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, وصلاة والسلام
على أشرف المرسلين. أما بعد :
Bentuk Bulat Planet BumiAllah
berfirman :
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ
يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلَا هُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
Artinya : “Dia menciptakan langit
dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan
menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing
berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS Az-Zumar : 5)
Dalam Al Qur’an, kata-kata yang
digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata
Arab yang diterjemahkan sebagai “menutupkan” dalam ayat di atas adalah
“takwir”. Dalam kamus bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk
menggambarkan pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain
secara melingkar, sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.
Keterangan yang disebut dalam ayat
tersebut tentang siang dan malam yang saling menutup satu sama lain berisi
keterangan yang tepat mengenai bentuk bumi. Pernyataan ini hanya benar jika
bumi berbentuk bulat. Ini berarti bahwa dalam Al Qur’an, yang telah diturunkan
di abad ke-7, telah diisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat.
Namun perlu diingat bahwa ilmu
astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini
berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah
didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur’an berisi informasi
yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur’an
adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat
digunakan dalam ayat-ayatnya ketika menjelaskan jagat raya.
The
following articles are important to you:
Dalam memperingati isra' dan mi'raj
sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke
langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar
sains. Bagi saya, aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra'
mi'raj.
Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan
masalah isra' mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur'an
dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang
sering terjadi dalam mengaitkan isra' mi'raj dengan kajian astronomi. Makna
penting isra' mi'raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah
dalam Al-Qur'an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra':1 Allah
menjelaskan tentang isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
(Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui."
Dan tentang mi'raj Allah menjelaskan
dalam QS. An-Najm:13-18:
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha.
Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril)
ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar."
Sidratul muntaha secara harfiah
berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak
seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya
Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali
penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan
bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra' dan
mi'raj dijelaskan di dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih,
didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan
membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya
dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, 'binatang' berwarna putih
yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra'
dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul
Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu;
Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian,
sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau."
Dengan buraq pula Nabi SAW
melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam
yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli
neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke
dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi
Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di
langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke
tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat
salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah
masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul
Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul
muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga,
dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril
membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun
berkomentar, "Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat
engkau." Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan
pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat
wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah
diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali
sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya
pengurangan sepuluh- sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali
sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta
keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman,
"Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."
Urutan kejadian sejak melihat Baitul
Ma'mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin
menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal
yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat
di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di
Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami
hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh
sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua
sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna
perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu.
Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu'min semua kejadian itu benar
diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
"Dan (ingatlah), ketika Kami
wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala
manusia". Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami
perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia...." (QS.
17:60).
"Ketika orang-orang Quraisy tak
mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan
mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa
yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya
memperhatikannya...." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat
Tujuh Langit
Peristiwa isra' mi'raj yang
menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan
hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering
disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila kita dengar kata langit, yang
terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud
langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?
Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari
matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti
segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi
galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan
lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali
tidak ada.
Bilangan 'tujuh' sendiri dalam
beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem
desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu
pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah
menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat
menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya
berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang
dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai
pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak
akan habis Kalimat Allah...."
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena
bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung
banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia,
langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah isra'
mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi.
Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di
langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan
planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang
yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita
ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya
--termasuk bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan
berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga
orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan
ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid
terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet
ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan
seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam.
Na'udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit
dalam kisah isra' mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena,
fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan
dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra' mi'raj
adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan
ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra'
mi'raj adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna
pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak
mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya
memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan
iman kita mempercayai bahwa isra' mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan
hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara
langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra' mi'raj bagi
ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu.
Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti
dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun
sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang
mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang
sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang
didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu
membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
T. Djamaluddin adalah peneliti
bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
http://media.isnet.org/isnet/Djamal/isra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar