Gelisah Menanti Sepasang Kornea
Karya : Muhammad Haris Prasetya
Secangkir
teh hangat setia menemaniku di sunyinya malam ini, bersama bintang ku curahkan
kegelisahan ini. Bintang? Kenapa kau hadir di malam hari? Kenapa kau setia
mendampingi bulan, padahal di luar sana terdapat matahari yang amat perkasa di
bandingkan segalanya. Bintang menjawab, “Aku tak inginkan kebahagiaan semu,
tapi yang ku ingin keceriaan tuk menemani gelapnya malam, ku ingin menjadi
penghias keindahan di saat orang memandang hitam pekatnya langit.”
Ku termenung dan sejenak berpikir
tentang suatu hal, jika kamu meninggalkan orang yang kamu sayang demi orang yang
kamu suka, maka suatu saat nanti orang yang kamu suka akan meninggalkan kamu
demi orang yang dia sayang. Apakah ini karma? Entah apa. Bintang, mengapa di
dunia ini harus ada cinta? Ku kembali berkeluh kesah dengan beribu untaian
pertanyaan yang sulit tuk diungkapkan.
Aku terbangun dari tidur lelap ku,
ternyata hanya mimpi indah saja. Bersama dengan hangatnya selimut, riangnya kicau
air yang bercumbu dengan bebatuan sungai, ditambah suara ibu yang melantunkan
senandung ayat suci Al-Qur’an. Ku perlahan meregangkan otot-otot ku dengan tenaga
seadanya. Walaupun dengan sedikit terbata-bata ku berusaha menuju kamar mandi.
Ku berkata dalam hati, “Ya Tuhan beri aku kekuatan untuk melupakan dia.”
Sejenak
ku terkejut, “Deeee!” Nama ku memang Arvin Putra Prasetya. Tapi itulah
panggilanku di rumah. Memang aku anak bungsu.
Ibu
memanggil, “Lupakan semua masalahmu nak.”
Seketika
ku teringat kembali akan apa yang ku alami 2 bulan sebelumnya. Di saat ku
merasakan pertama kali bagaimana dianugerahkan hal terindah dari yang Maha Kuasa,
yaitu cinta sekaligus pahitnya atas apa yang namanya cinta.
Ku duduk di teras rumah dengan ditemani
suara merdu ayam yang sedang bernyanyi, ku berpikir masa-masa SMA sudah lewat,
terasa singkat memang bagiku dan dia. Saat indah kenangan dulu, saat indah
bersamanya. Susah, senang, sedih, dan rindu selalu menghiasi hari-hari ku dan
dia. Ku ingat saat pertama kali bertemu, dag dig dug detak jantung, sampai saat
ini tak bisa ku elakkan. Detik, menit, jam, telah ku lewati bersama dia. Hari,
minggu, bulan, dan tahun sudah tak terasa bagiku dan dia. Aku dan dia bagai 2
sisi mata uang yang tak bisa tuk di pisahkan. Sampai pada saat yang
menyenangkan, pada saat bergembira bersama menerima pengumuman kelulusan. Ku
bahagia, tapi di lain hal ku sedih. Ku tak bisa jauh dengannya.
Dia,
Keysha Aldwiyha Prasmethi Putri namanya, adalah seorang wanita berparas cantik,
berambut sedang nan lurus dan selalu tersenyum. Itulah yang ku suka dari dia. Orang
–orang iri akan kami. Di lain hal kami bahagia akan kebebasan kami dari Sekolah
Menengah Atas ini, tapi di sisi lain ku kecewa. Mengapa? Seseorang yang selalu memberiku
inspirasi tak bersamaku lagi.
Tak bisa ku bayangkan, antara aku
dan dia bagai air rindu api. Meski hasrat tuk bersatu, memang sulit tuk
tercapai. Ku hanya bisa berkata pada bintang yang mulap redup seiring datangnya
keperkasaan matahari.
“Bintang, dimanakah dia? Aku sangat merindukannya.
Tunjukanlah terangmu walau hanya seberkas mimpi.”
Aku persis bintang tak punya bulan, aku
amat rindu kasih mu. Sulit ku pungkiri semua tak merisau. Aku tahu, semua
bualan mimpi tuk menanti sebuah kegembiraan walau hanya sejenak. Rindu dan kesal
selalu berkecamuk dalam alam bawah sadar. Ku mohon lirik aku walau hanya
sekedip saja. Wahai malam, ku ingin kesetiaan bintang pada bulan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki yang seiring dengan detak jantung yang semakin berdentum dengan campuran
air dan api dengan nada penasaran.
“I want to make your happy, because seeing
you smiling makes me happy.”
Seketika aku
terhenyak dengan perkataan itu, ternyata ayah datang menghampiri ku dengan
membawa sebuah lembaran formulir pendaftaran masuk Universitas Negeri.
“Ayah, ada apa?”
“Itu kan yang
selalu kamu katakana kepadanya? Nah! Terus kenapa kamu sekarang bersedih?” Ayah
menasihatiku sambil mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Huuuuuh.” Itulah
yang hanya bisa ku ucapkan pada saat ini.
“Ini ayah bawakan
untuk mu, isi dengan benar sebab ini Universitas favorit di daerah kita.”
Dengan senyum
samar ku menjawab walau sulit, “Ya siap ayah.”
Sambil ku mencium
kedua tangan sesosok panutan keluarga itu, ayah berkata, “Ya sudah ayah tinggal
dulu, ayah mau berangkat ke kantor, kamu baik-baik di rumah.”
Aku hanya bisa
diam membisu melihat selembar kertas yang diberikan ayah itu, memang benar itu untuk
melanjutkan sekolahku. Dengan penuh tanda tanya ku menulis di kertas itu.
Gejolak hati makin gelisah, penantian sebuah angan pun pupus sudah, pengharapan
begitu besar akan sesosok pelita hati mulai redup. Aku hanya bisa pasrah akan keberadaan
dia.
Dengan penuh
gemetar hati ku menyimpan kertas itu di atas meja belajarku, ku tak kuasa
melihat ini semua. Memang benar ku harus melihat kedepan, ku tak boleh hancur
karena kegelisahan ini, masa depan ku masih panjang.
“Deee! Cepat
mandi, setelah itu bantu ibu membereskan pekarangan rumah, ibu sebentar lagi
mau ke sekolah.”
Seketika
hayalanku buyar, “Oke ibu ku sayang.”
Hari ini memang
masih libur panjang setelah kelulusanku. Ku mengisi hari-hari dengan keluarga
yang membuatku hangat karenanya. Walaupun ayah seorang Ketua UPTD, kakak hampir
selesai kuliah di Institut Tekhnologi Bandung , dan ibu ke kantor Dinasnya. Tapi
pada saat libur kami berkumpul dengan sejuta guyonan hangat, cerita akan
pengalaman masing-masing bertumpuk seakan tak kuasa tuk di pendam lagi.
Tak terasa fajar
mulai kembali ke singgasananya. Jam penunjukan pukul 5 petang, aku menanti masa-masa
ini. Dengan penuh keceriaan aku menanti pulangnya semua orang tersayangku.
Semua pekerjaan rumah telah ku bereskan, termasuk kolam ikan kesayangan ayah.
Bahkan kumpulan buku cerita kakak telah ku tata dengan indah di atas meja
belajarnya.
“Assalaamualaikum!”
Tak kusangka
ternyata mereka pulang bersamaan. Dengan penuh kerinduan ku menghampiri mereka,
“Ayah, ibu, kakak, kebetulan kalian pulang bersama, aku sudah menunggu dari
tadi.”
Ayah menjawab, “Ini
ayah bawakan ayam bakar kesukaan mu.”
“Asyiiiiik!”
dengan seketika aku mengambilnya dan memakannya dengan tak menghiraukan yang
lainnya.
Aku rindu suasana
seperti ini, penuh kasih sayang. Semua mata tertuju padaku, aku heran mengapa?
Ternya mereka senang melihatku yang makan dengan lahap. Seketika aku tersimpuh
malu. Canda tawa, saling ejek pun tak terelakan, bahkan saling lempar guyonan.
Menjelang malam kami berkumpul di teras rumah sambil bercerita pengalaman
masing-masing. Aku hanya bisa mendengarkannya sambil melihat rasi bintang
scorpio yang tergambar di angkasa. Sambil diselingi suara jangkrik yang bergurau
bersama jernihnya angin malam, aku dan keluarga ku sangat harmonis.
“Sudah malam, ayo
kita masuk ke dalam.” Kata ayah sambil merangkul aku dan kakakku.
“Sebentar lagi ayah,
aku masih mau melihat jutaan bintang di langit.”
“Ya sudah, ayah masuk
ke dalam. Kamu jangan terlalu lama di luar, nanti masuk angin.”
Ayah, ibu, dan
kakak semua meninggalkan ku di tengah sunyinya malam ini. Aku baru ingat ini
malam minggu, memang benar lalu-lalang kendaraan roda dua selalu melintas tanpa
sapa sedikitpun. Ku termenung, ku melamun, ku berpikir dalam hati. Apakah kau
ada di sana? Entah dimana kau sekarang, aku hanya bisa mendoakan semoga kau
bahagia layaknya bintang pada malam ini yang begitu terang menemani hati ini
yang redup. Dengan selembar kertas kosong dan sebuah ballpoint ku di temani, tak terasa jari-jemari ini ingin menari.
Tak kusadari hati ini berkata dalam sebuah curahan hati. Tak kusangka selembar
kertas kosong ini menjadi penuh dengan kata-kata yang selalu ku ingin katakana terhadapnya.
Bintang dan bulan, merekalah yang selalu setia menemaniku di setiap kelamnya
malam.
Meski jiwa tak mengembang
layak bunga sakura, ku
ingin gantikan angin usam. Riskan
berubah menjadi setitik cahaya,
aku
layaknya laut tanpa tarian ombak di Lombok, batin kalbu rindu jiwa akan kehadiran mu. Alam semesta seakan bergoncang atas pengharapan seberkas angan pelita. Ku ingat suasana lampau yang amat ku
cintai. akhiri
sudah album itu, ku
ingin buang khayal ku akan kamu, begitu jauh di luar garis khatulistiwa. Di saat ruh mencari jasad, ribuan lirik sendu mengalir indah. Gapailah impian itu dengan senyuman yang
menyenangkan.
Jutaan kata mengalun deras di
benakku bagai limpahan ombak di Parangtritis. Gigitan serangga penghisap darah
tak ku hiraukan, suara menggema kodok liar tak ku risaukan. Ku hanya terpana
pada bintang di langit yang amat ku cintai. Hanya bintang tuk saat ini yang
selalu menemaniku. Hanya bintang yang bisa membuat ku tersenyum di dalam
kegundahan malam ini.
“Deeee! Cepat tidur sudah malam.”
Ayah memanggil dari dalam rumah.
***
Fajar
mulai merekah menghiasi gemerlap indah kota kembang Bandung, kicau burung
bermesraan, hamparan luas pekarangan sawah, melukiskan takjubnya pagi ini.
Walaupun diselingi gemuruh klakson besi berjalan, tak mengusik aku dan kakak
perempuanku yang bercumbu dalam mimpi panjangnya masing-masing.
“Deee! Teeeh! Bangun bangun bangun.”
Begitulah suara ibu yang tiba-tiba membangunkan kami.
Dengan sedikit mengigau ku menjawab,
“Ya bu.”
Hari demi hari ku lalui dengan
kegelisahan. Aku berpikir tidak ada gunanya lagi aku seperti ini, aku harus
bisa merubahnya. Terlintas di pikiranku buka semangat baru.
Seperti
biasa ayah dan ibu pergi melakukan aktivitasnya masing-masing, berbeda dengan
kakak. Kakak meminta ijin untuk melakukan perkemahan di Yogyakarta, di sebuah
kampung yang rindang dengan sejuta hamparan pohon pinus. Bersama rombongan fakultasnya,
selama 5 hari kakak akan melakukan penelitian atas berbagai fenomena alam,
karena kakak mengambil jurusan ilmu hayati dan biologi.
Tak ada yang berbeda pada pagi ini,
kicauan burung masih setia berkicau di tengah libur panjang ku menanti
penerimaan mahasiswa baru. Tak ku sangka sahabat-sahabatku sewaktu di sekolah
terdahulu datang menhampiri rumah ku, mereka datang untuk sekedar
bersilaturahmi.
“Hai, bagaimana kabarmu sekarang?”
Tanya Ilham teman akrab ku. Dia orangnya sedikit pendek, hitam manis, kocak,
dan tidak bisa diam. Bersama dengan gitar mungilnya.
“Aku baik-baik saja, kalau kalian bagaimana?
Kenapa jarang main lagi ke rumah ku?”
Sambil tertawa seseorang datang
telat, “Sibuk mempersiapkan melanjutkan sekolah.” Itulah yang dikatakan
sahabatku Fauzi, memang dia narsis, dia berkaca mata, jago bernyanyi sekaligus
bermain gitar, dan selalu dikelilingi wanita cantik.
“Oh ya, logaritma apa kabar? Sudah
lama kita tidak ke studio musik lagi, aku sudah rindu gitar! Sanggah Adit,
seorang anak remaja yang memiliki rambut seperti paku menjulang ke atas. Memang
lucu, tapi itu ciri khasnya.
“Aku sudah buat puisi, coba kalian
buatkan lagu, bisa tidak?” Kata seorang remaja berkulit sawo matang, berambut
ikal, dan jago sekali bernyanyi layaknya Afgan. Memang dia adalah fansnya
penyanyi itu, dan dia juga selalu meniru apapun yang artis idolanya itu lakukan.
Namanya adalah Dwie.
“Bagaimana kabar kalian semua? Oh ya
bulan depan kita di undang untuk menghadiri pertemuan alumni SMP kita, kalian juga
di tuntut menghibur dengan beberapa lagu
ciptaan kalian. Kata seorang remaja yang mempunyai fisik kurus, tinggi, putih,
serta berkaca mata pula. Dia jago dalam hal management.
Namanya adalah Iwan, sekaligus dia juga manager
kami.
“Wah!
Ide bagus tuh, kira-kira kapan
pastinya? Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan teman-teman kita dulu.
Pasti sudah banyak yang berubah.” Kata seorang berparas kocak, tinggi berisi,
berambut persis Tukul Arwana dan pintar serta jago dalam segala hal. Memang
unik, tapi itulah kelebihannya. Namanya Ikbal, lengkapnya ialah Muhammad Ikbal.
Tak kusadari hari sudah mulai senja,
mereka pun kembali kepelatarannya masing-masing. Dan kembali aku kesepian di
tengah-tengah ibu kota Jawa Barat ini, ku kembali berpikir dan menanti sebuah
kebahagiaan yang selalu ku dambakan.
Hari minggu, tepat 3 hari kakakku melakukan
penelitiannya. Tiba-tiba suara telepon rumah memanggil keras.
“Apa benar ini orang tuanya Keyla
Putri Al Prasetya, mahasiswa ITB?”
Ayah menjawab, “Ya benar, ada yang
bisa saya bantu?”
“Putri bapak mengalami kecelakaan
terjatuh dari sebuah jembatan kayu pada saat melintasi sungai untuk melakukan
penelitian, kepalanya terbentur batu sungai dan sekarang sedang dilarikan ke
rumah sakit terdekat.”
Seketika
ayah tertegun tanpa kata sedikitpun, suasana tentram penuh syahdu berbalik
menjadi genting, bagai burung enggan berkicau lagi, bagai layunya kembang
Bandung. Kerasnya suara mesin-mesin jalanan tak mampu melukiskan kegelisahan hati
keluargaku yang amat shock mendengar
berita tersebut. Benturan ombak menabrak karang tak terbayangkan oleh kicauan
burung yang membisu, sungguh sulit ku akui. Kakakku sedang mengalami musibah.
Kami semua gelisah.
Segera
kami semua bergegas mengemasi barang-barang dan berangkat menuju Yogyakarta.
Dengan hati harap-harap cemas ayah berkata, “Kalian jangan khawatir, kakak akan
baik-baik saja dan terus berdoa.” Walaupun sulit, dengan hati yang
berdebar-debar menanti kabar keadaan saudara kandung ku yang selalu menemaniku
di saat mengerjaan PR matematika. Memang aku sangat dekat dengan kakakku, tapi
saat ini dia di sibukan dengan statusnya sebagai mahasiswa. Sampai pada saat
kejadian yang tidak diinginkan ini terjadi. Jujur hati ini menyesal.
Tepat
di kota Tasikmalaya. Aku dan ibu masih tertidur lelap hanya ayah saja yang
dengan cermat mengendarai kendaraan roda 4. Disekeliling kota terdapat berbagai
aneka sarana pencuci mata, tapi tak kurisaukan. Terik panas cahaya matahari
menambah gersangnya jalanan pada saat ini, bagai mencari sumber air di timbunan
batu aspal. Asap mengepul, knalpot berhembus, aku kira hanya asap biasa saja,
aku tak menghiraukannya. Hanya satu yang ku pikirkan pada saat ini, keselamatan
kakakku. Itu saja.
Bagai
fatamorgana, Semua ketenangan tidur pun terhenyak dengan sedikit berteriak ayah
berkata, “Cepat semua keluar dari mobil!”
Serentak
aku dan ibu bangun terkaget-kaget. Sambil berkata, “Kenapa ini?”
“Bagian
belakang mobil terbakar.” Kata ayah sambil berusaha keluar dari mobil.
Kami
pun dengan cepat keluar dari mobil, ternyata bagian belakang mobil sudah
terbakar. Ibu menangis ketakutan. Termasuk aku yang terperanga melihat kobaran api
yang membludak membakar mobil kesayanganku. Ayah hanya bisa diam tanpa kata
melihat si jago merah merenggut nasib mobilnya.
Truk
merah dengan tangki besar pun tiba dengan selang panjangnya menyemprotkan H2O
ke kijang rover merah yang terbakar itu. Warga pun ikut menjinakan api yang
ganas itu dengan alat seadanya.
Mencekam, itulah yang bisa
digambarkan dari situasi ini. Hanya pasrah ke Rabb-Nya lah yang bisa keluargaku
lakukan, berdoa agar diberi hikmah dari semua ini, agar situasi yang memang
sulit dipungkiri ini bisa terkendali.
Hangus tanpa sisa, itulah yang bisa
ku gambarkan pada saat ini.
“Ya Tuhan apakah ini cobaan dari-Mu?
Berikanlah kami kekuatan untuk bisa melewatinya.” Ibu berkata sambil bersimpuh
dalam tangisannya.
Dengan segera ayah mengambil telepon
genggamnya.
“Kami mengalami kecelakaan.” Kata ayah
menelpon rekan kerjanya Andi di Bandung.
Andi
menjawab, “Dimana kalian? Bagaimana keadaan kalian sekarang? Kalian tidak
apa-apa? Bagaimana bisa terjadi seperti itu?”
Dengan
disertai getaran badan yang tertekan ayah menjawab, “Kami tidak apa-apa, semua
selamat, kami butuh bantuan, kami bermaksud menuju Yogyakarta karena anak
perempuan kami sedang di rawat di sana.”
Percakapan
demi percakapan membuatku gelisah, suara gerumunan orang membuatku semakin
cemas akan keadaan kakak di seberang sana. Aku ingin segera menemui kakak, hati
ini kian berkecamuk menanti secercak harapan akan kegelisahan ini.
Dalam
hati ku bergumam, “Bagaimanakah keadaan kakak sekarang?”
Mobil
kijang hitam menghampiri kami yang sedang kebingungan. Seorang laki-laki
matang, tinggi, berkulit putih dan sedikit berkumis keluar dari mobil itu.
Ternyata! Ya itu Andi, kami tertolong.
Sepanjang
perjalanan aku merenung dalam sejuta pikiran yang kusut, begitu banyak cobaan
yang ku alami. Apakah ini ujian untuk ku agar aku menjadi kuat? Entah apa yang
sang Khalik gariskan, entah apa yang Ia inginkan. “Give me a strength.” Ucapku.
“Ayo
bangun! Kita sudah sampai di Rumah Sakit.” Kata ayah sambil mengelus kepalaku.
Kami
semua bergegas menuju ruang UGD Rumah Sakit tersebut. Kakak sedang ditangani
oleh pihak dokter. Aku dan ibu duduk di kursi tunggu sambil berdoa, sedangkan
ayah mondar-mandir di depan pintu ruang penyelamatan itu. Dunia seakan
berkecamuk, hawa panas menggelayut, kecemasan menjadi-jadi, termasuk suara ibu
yang terisak-isak melantunkan doanya. Memang semua bukan mimpi, kenyataan yang
memang sulit ku akui.
Dua
jam kemudian sesosok laki-laki berpakaian hijau memakai tutup mulut keluar dari
ruangan itu dan berkata, “Apakah kalian keluarganya?”
Dengan
keadaan cemas dan mata berkaca-kaca ayah menjawabnya, “Iya dok, bagaimana
keadaan anak saya?”
“Kritis,
pasien sedang mengalami pendarahan di kepalanya yang dapat mengakibatkan
gangguan saraf pada matanya.”
Ibu
terdiam dengan sejuta kecemasan di dadanya, kami tak kuasa mendengarnya,
ditambah ayah yang berusaha meyakinkan dokter untuk menyelamatkan kakak.
“Tolong lakukan apapun agar anak saya selamat dok.” Itu yang ayah katakana
sambil duduk bersimpuh di hadapan dokter.
Dokter
menjawab, ”Mari kita bicarakan di ruangan saya.”
Kakak
mengalami geger otak yang mengakibatkan kornea matanya retak. Itulah yang
dokter katakan pada ayah. Sungguh riskan mendengarnya, tapi itu nyatanya. Dan
sesalnya, tidak ada persediaan kornea mata yang diterima Rumah Sakit ini dari
pendonor. Sudah berbagai Rumah Sakit dihubungi, tapi payah tidak ada titik
terangnya. Beberapa anggota PMI telah dicoba, itu pun tidak ada hasil. Semua
sanak saudara telah diberitahukan, dan hasilnya pun nihil.
Kami pasrah, kami lelah mencari,
kami putus asa dengan semua ini, kami sudah mencoba segala cara, mencari
pendonor mata yang dermawan, tapi nol besar. Bahkan ayah sempat menyuruh dokter
untuk mengambil di kamar mayat, kasihan ayah. Kami bersujud di hadapan-Mu, kami
tak sanggup lagi menghadapi semua ini ya-Rabb.
Sempat ada seorang dermawan yang
hendak mendonorkan matanya tapi tidak cocok karena perbedaan golongan darah,
seorang kakek renta rela mengorbankan korneanya tapi tidak bisa karena usia
matanya sudah lanjut. Seorang gadis baru saja meninggal karena sakit, tapi
sayang tidak bisa karena korneanya sudah terinfeksi virus.
“Allahu’akbar Allahu’akbar.” Suara
adzan magrib menggema ditengah kegelisahan kami. Ku tak kuasa menahan tangis di
dalam sujudku, kami semua kacau tak terbayang. Hanya isak tangis yang bisa ku
lakukan, ku cemas melihat ibu yang sedih dalam shalatnya, begitupun ayah. Lantunan ayat demi ayat tak henti-henti mengalun
deras dari mulut kedua orang tuaku. Kelelahan, kecemasan, kegelisahan kian
bercampur dalam dada, langkah kaki renta, mata lebam tak kuasa lagi
mengeluarkan air kesedihannya.
Di
tengah kegalauan ku, bagai mencari mawar di gurun sahara. Bagai anak kecil menggapai
bintang dengan tongkatnya, bagai tikus mencintai kucing. Kami semua terdiam
dalam tanda tanya.
Dokter
berkata, “Kemana saja kalian? Dari tadi saya menunggu kalian. Alhamdulillah
anak ibu dan bapak berhasil mendapatkan kornea yang cocok, serta sudah melewati
masa-masa kritis operasi transfer kornea matanya dan sekarang sedang dirawat
intensif di ICU, dan Insya Allah bisa dilihat perkembangannya dalam waktu 2
atau 3 minggu kemudian setelah dibuka perban di kedua matanya.”
Subhanallah,
seketika kami semua bersujud, bersimpuh di hadapan-Nya, berterimakasih atas
keajaiban yang kami dapatkan. Lepaslah semua beban di pundak, terjawab sudah
semua pertanyaan yang menggelayut di dada. Ku bahagia, ku senang, ku gembira,
ku bersyukur. Alhamdulillah, itu yang bisa ku ucapkan atas semua keajaiban ini.
Dokter
memberikan selembar kertas dengan kata-kata yang tersirat di dalamnya.
Ku bahagia jika kau pun bahagia, ku
sedih kalau kamu menangis. Ku tak mau melihat cucuran air mata yang selalu
mengalir deras dari mata indah mu. Maafkan aku, aku menghilang tak ada kabar,
maafkan aku yang tak bisa ada selalu disamping mu, maafkan aku tak bisa memberikanmu
kebahagiaan selama ini. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk menebus semua dosa
ku di masa lampau. Hanya ini yang mampu ku ucapkan, hanya ini yang bisa ku
perbuat semata-mata menitikan sedikit keajaiban akan kakak tersayang mu. Selain
kata maaf yang diiringi dengan terima kasih. Semoga kamu bisa menerimanya.
Aku mencintaimu
Keysha Aldwiyha Prasmethi Putri
Ku terpaku dalam jiwa yang hening
meski suasana hati mencekam, “Dia?
Apakah benar dia?”
***
“Pesawat keberangkatan menuju Den
Haag - Belanda sepuluh menit lagi akan segera di berangkatkan,
mohon untuk para penumpang mempersiapkan barang bawaannya dan segera menuju ruang
tunggu pintu masuk pesawat.” Seorang wanita muda berparas cantik, berambut sedang
nan lurus seketika berdiri
dari kursi besi berwarna silver tepat berada dalam ruang tunggu bandara, dengan
menggunakan kaca mata hitam dengan gaya yang sedikit kikuk sambil tak
henti-hentinya tersenyum dan melenggang bersama seorang wanita
berumur senja dengan membawa beberapa koper hitam yang dipegangnya tanpa tergambar
ekspresi apapun.
* Sinopsis :
Di tengah
kegelisahan merindukan sang pelita hati, menanti kedatangan penerang jiwa,
kesedihan di tinggalkan seseorang yang sangat berarti bagiku. Aku selalu
termenung di teras rumahku dengan ditemani bintang dan bulan beserta secangkir
teh hangat. Aku selalu berkeluh kesah kepada
bintang akan semua
masalahan ku.
Dengan keluarga yang harmonis. Aku,
kakak perempuanku, ayah, dan bunda. Tak pernah berselisih apapun, selalu bersenda
gurau di sela percakapannya. Sampai pada suatu hari kakak meminta ijin kepada
kami untuk melaksanakan perkemahan di Yogyakarta dalam rangka penelitian fakultasnya.
Dan kami pun mengijinkannya.
Kecelakaan menimpa kakakku. Dia terjatuh dari atas
jembatan suatu sungai kecil di daerah pedesaan dengan kepalanya membentur ke
batu sungai. Kepala
kakakku mengalami gangguan pada saraf matanya.
Di tengah perjalanan menuju tempat kakakku, kami mengalami
musibah. Mobil yang ditumpangiku mengalami kebakaran. Kami sekeluarga berusaha
mencari pendonor kornea mata yang dermawan, tapi tidak berhasil. Berbagai cara
telah kami tempuh untuk mendapatkan keajaiaban. Namun, hanya pasrah yang kami
bisa lakukan.
Nurani
bertanya-tanya entah siapa yang rela mendonorkan kornea matanya? Apakah ini
jawaban atas semua doa-doaku? Apakah ini keajaiaban-Mu ya Tuhan? Siapakah dia? Bagaimanakah
akhir ceritanya?
Muahammad
Haris Prasetya, dilahirkan di kota Sukabumi Selatan pada tanggal 16 November
1994. Pendidikan yang pernah ia tempuh adalah TK Aisyiyah 4 Jampangkulon, SDN 2
Jampangkulon, SMPN 1 Jampangkulon, dan sekarang sedang melanjutkan sekolahnya
di SMAN 1 Jampangkulon kelas X (tahun ajaran 2010/2011). Ia bertempat tinggal
di Jalan Purwasedar 2, No : 57, Rt 02/01, Ds. Padajaya, Kec. Jampangkulon, Sukabumi - Jawa Barat, bersama orang tuanya.
Hobinya
adalah bermain badminton, serta memainkan alat musik drum. Cita-citanya ialah
ingin menjadi seorang dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar