Search this bog

Selasa, 20 September 2011

Cerpen Haryzt


Gelisah Menanti Sepasang Kornea
Karya  : Muhammad  Haris  Prasetya
Secangkir teh hangat setia menemaniku di sunyinya malam ini, bersama bintang ku curahkan kegelisahan ini. Bintang? Kenapa kau hadir di malam hari? Kenapa kau setia mendampingi bulan, padahal di luar sana terdapat matahari yang amat perkasa di bandingkan segalanya. Bintang menjawab, “Aku tak inginkan kebahagiaan semu, tapi yang ku ingin keceriaan tuk menemani gelapnya malam, ku ingin menjadi penghias keindahan di saat orang memandang hitam pekatnya langit.”
            Ku termenung dan sejenak berpikir tentang suatu hal, jika kamu meninggalkan orang yang kamu sayang demi orang yang kamu suka, maka suatu saat nanti orang yang kamu suka akan meninggalkan kamu demi orang yang dia sayang. Apakah ini karma? Entah apa. Bintang, mengapa di dunia ini harus ada cinta? Ku kembali berkeluh kesah dengan beribu untaian pertanyaan yang sulit tuk diungkapkan.
            Aku terbangun dari tidur lelap ku, ternyata hanya mimpi indah saja. Bersama dengan hangatnya selimut, riangnya kicau air yang bercumbu dengan bebatuan sungai, ditambah suara ibu yang melantunkan senandung ayat suci Al-Qur’an. Ku perlahan meregangkan otot-otot ku dengan tenaga seadanya. Walaupun dengan sedikit terbata-bata ku berusaha menuju kamar mandi. Ku berkata dalam hati, “Ya Tuhan beri aku kekuatan untuk melupakan dia.”
Sejenak ku terkejut, “Deeee!” Nama ku memang Arvin Putra Prasetya. Tapi itulah panggilanku di rumah. Memang aku anak bungsu.
Ibu memanggil, “Lupakan semua masalahmu nak.”
Seketika ku teringat kembali akan apa yang ku alami 2 bulan sebelumnya. Di saat ku merasakan pertama kali bagaimana dianugerahkan hal terindah dari yang Maha Kuasa, yaitu cinta sekaligus pahitnya atas apa yang namanya cinta.
            Ku duduk di teras rumah dengan ditemani suara merdu ayam yang sedang bernyanyi, ku berpikir masa-masa SMA sudah lewat, terasa singkat memang bagiku dan dia. Saat indah kenangan dulu, saat indah bersamanya. Susah, senang, sedih, dan rindu selalu menghiasi hari-hari ku dan dia. Ku ingat saat pertama kali bertemu, dag dig dug detak jantung, sampai saat ini tak bisa ku elakkan. Detik, menit, jam, telah ku lewati bersama dia. Hari, minggu, bulan, dan tahun sudah tak terasa bagiku dan dia. Aku dan dia bagai 2 sisi mata uang yang tak bisa tuk di pisahkan. Sampai pada saat yang menyenangkan, pada saat bergembira bersama menerima pengumuman kelulusan. Ku bahagia, tapi di lain hal ku sedih. Ku tak bisa jauh dengannya.
Dia, Keysha Aldwiyha Prasmethi Putri namanya, adalah seorang wanita berparas cantik, berambut sedang nan lurus dan selalu tersenyum. Itulah yang ku suka dari dia. Orang –orang iri akan kami. Di lain hal kami bahagia akan kebebasan kami dari Sekolah Menengah Atas ini, tapi di sisi lain ku kecewa. Mengapa? Seseorang yang selalu memberiku inspirasi tak bersamaku lagi.
            Tak bisa ku bayangkan, antara aku dan dia bagai air rindu api. Meski hasrat tuk bersatu, memang sulit tuk tercapai. Ku hanya bisa berkata pada bintang yang mulap redup seiring datangnya keperkasaan matahari.
            “Bintang, dimanakah dia? Aku sangat merindukannya. Tunjukanlah terangmu walau hanya seberkas mimpi.”
            Aku persis bintang tak punya bulan, aku amat rindu kasih mu. Sulit ku pungkiri semua tak merisau. Aku tahu, semua bualan mimpi tuk menanti sebuah kegembiraan walau hanya sejenak. Rindu dan kesal selalu berkecamuk dalam alam bawah sadar. Ku mohon lirik aku walau hanya sekedip saja. Wahai malam, ku ingin kesetiaan bintang pada bulan.
            Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang seiring dengan detak jantung yang semakin berdentum dengan campuran air dan api dengan nada penasaran.
            “I want to make your happy, because seeing you smiling makes me happy.”
            Seketika aku terhenyak dengan perkataan itu, ternyata ayah datang menghampiri ku dengan membawa sebuah lembaran formulir pendaftaran masuk Universitas Negeri.
            “Ayah, ada apa?”
            “Itu kan yang selalu kamu katakana kepadanya? Nah! Terus kenapa kamu sekarang bersedih?” Ayah menasihatiku sambil mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
            “Huuuuuh.” Itulah yang hanya bisa ku ucapkan pada saat ini.
            “Ini ayah bawakan untuk mu, isi dengan benar sebab ini Universitas favorit di daerah kita.”
            Dengan senyum samar ku menjawab walau sulit, “Ya siap ayah.”
            Sambil ku mencium kedua tangan sesosok panutan keluarga itu, ayah berkata, “Ya sudah ayah tinggal dulu, ayah mau berangkat ke kantor, kamu baik-baik di rumah.”
            Aku hanya bisa diam membisu melihat selembar kertas yang diberikan ayah itu, memang benar itu untuk melanjutkan sekolahku. Dengan penuh tanda tanya ku menulis di kertas itu. Gejolak hati makin gelisah, penantian sebuah angan pun pupus sudah, pengharapan begitu besar akan sesosok pelita hati mulai redup. Aku hanya bisa pasrah akan keberadaan dia.
            Dengan penuh gemetar hati ku menyimpan kertas itu di atas meja belajarku, ku tak kuasa melihat ini semua. Memang benar ku harus melihat kedepan, ku tak boleh hancur karena kegelisahan ini, masa depan ku masih panjang.
            “Deee! Cepat mandi, setelah itu bantu ibu membereskan pekarangan rumah, ibu sebentar lagi mau ke sekolah.”
            Seketika hayalanku buyar, “Oke ibu ku sayang.”
            Hari ini memang masih libur panjang setelah kelulusanku. Ku mengisi hari-hari dengan keluarga yang membuatku hangat karenanya. Walaupun ayah seorang Ketua UPTD, kakak hampir selesai kuliah di Institut Tekhnologi Bandung , dan ibu ke kantor Dinasnya. Tapi pada saat libur kami berkumpul dengan sejuta guyonan hangat, cerita akan pengalaman masing-masing bertumpuk seakan tak kuasa tuk di pendam lagi.
            Tak terasa fajar mulai kembali ke singgasananya. Jam penunjukan pukul 5 petang, aku menanti masa-masa ini. Dengan penuh keceriaan aku menanti pulangnya semua orang tersayangku. Semua pekerjaan rumah telah ku bereskan, termasuk kolam ikan kesayangan ayah. Bahkan kumpulan buku cerita kakak telah ku tata dengan indah di atas meja belajarnya.
            “Assalaamualaikum!”
            Tak kusangka ternyata mereka pulang bersamaan. Dengan penuh kerinduan ku menghampiri mereka, “Ayah, ibu, kakak, kebetulan kalian pulang bersama, aku sudah menunggu dari tadi.”
            Ayah menjawab, “Ini ayah bawakan ayam bakar kesukaan mu.”
            “Asyiiiiik!” dengan seketika aku mengambilnya dan memakannya dengan tak menghiraukan yang lainnya.
            Aku rindu suasana seperti ini, penuh kasih sayang. Semua mata tertuju padaku, aku heran mengapa? Ternya mereka senang melihatku yang makan dengan lahap. Seketika aku tersimpuh malu. Canda tawa, saling ejek pun tak terelakan, bahkan saling lempar guyonan. Menjelang malam kami berkumpul di teras rumah sambil bercerita pengalaman masing-masing. Aku hanya bisa mendengarkannya sambil melihat rasi bintang scorpio yang tergambar di angkasa. Sambil diselingi suara jangkrik yang bergurau bersama jernihnya angin malam, aku dan keluarga ku sangat harmonis.
            “Sudah malam, ayo kita masuk ke dalam.” Kata ayah sambil merangkul aku dan kakakku.
            “Sebentar lagi ayah, aku masih mau melihat jutaan bintang di langit.”
            “Ya sudah, ayah masuk ke dalam. Kamu jangan terlalu lama di luar, nanti masuk angin.”
            Ayah, ibu, dan kakak semua meninggalkan ku di tengah sunyinya malam ini. Aku baru ingat ini malam minggu, memang benar lalu-lalang kendaraan roda dua selalu melintas tanpa sapa sedikitpun. Ku termenung, ku melamun, ku berpikir dalam hati. Apakah kau ada di sana? Entah dimana kau sekarang, aku hanya bisa mendoakan semoga kau bahagia layaknya bintang pada malam ini yang begitu terang menemani hati ini yang redup. Dengan selembar kertas kosong dan sebuah ballpoint ku di temani, tak terasa jari-jemari ini ingin menari. Tak kusadari hati ini berkata dalam sebuah curahan hati. Tak kusangka selembar kertas kosong ini menjadi penuh dengan kata-kata yang selalu ku ingin katakana terhadapnya. Bintang dan bulan, merekalah yang selalu setia menemaniku di setiap kelamnya malam.
           Meski jiwa tak mengembang layak bunga sakura, ku ingin gantikan angin usam. Riskan berubah menjadi setitik cahaya, aku layaknya laut tanpa tarian ombak di Lombok, batin kalbu rindu jiwa akan kehadiran mu. Alam semesta seakan bergoncang atas pengharapan seberkas angan pelita. Ku ingat suasana lampau yang amat ku cintai. akhiri sudah album itu, ku ingin buang khayal ku akan kamu, begitu jauh di luar garis khatulistiwa. Di saat ruh mencari jasad, ribuan lirik sendu mengalir indah. Gapailah impian itu dengan senyuman yang menyenangkan.
            Jutaan kata mengalun deras di benakku bagai limpahan ombak di Parangtritis. Gigitan serangga penghisap darah tak ku hiraukan, suara menggema kodok liar tak ku risaukan. Ku hanya terpana pada bintang di langit yang amat ku cintai. Hanya bintang tuk saat ini yang selalu menemaniku. Hanya bintang yang bisa membuat ku tersenyum di dalam kegundahan malam ini.
            “Deeee! Cepat tidur sudah malam.” Ayah memanggil dari dalam rumah.

***
Fajar mulai merekah menghiasi gemerlap indah kota kembang Bandung, kicau burung bermesraan, hamparan luas pekarangan sawah, melukiskan takjubnya pagi ini. Walaupun diselingi gemuruh klakson besi berjalan, tak mengusik aku dan kakak perempuanku yang bercumbu dalam mimpi panjangnya masing-masing.
            “Deee! Teeeh! Bangun bangun bangun.” Begitulah suara ibu yang tiba-tiba membangunkan kami.
            Dengan sedikit mengigau ku menjawab, “Ya bu.”
            Hari demi hari ku lalui dengan kegelisahan. Aku berpikir tidak ada gunanya lagi aku seperti ini, aku harus bisa merubahnya. Terlintas di pikiranku buka semangat baru.
Seperti biasa ayah dan ibu pergi melakukan aktivitasnya masing-masing, berbeda dengan kakak. Kakak meminta ijin untuk melakukan perkemahan di Yogyakarta, di sebuah kampung yang rindang dengan sejuta hamparan pohon pinus. Bersama rombongan fakultasnya, selama 5 hari kakak akan melakukan penelitian atas berbagai fenomena alam, karena kakak mengambil jurusan ilmu hayati dan biologi.
            Tak ada yang berbeda pada pagi ini, kicauan burung masih setia berkicau di tengah libur panjang ku menanti penerimaan mahasiswa baru. Tak ku sangka sahabat-sahabatku sewaktu di sekolah terdahulu datang menhampiri rumah ku, mereka datang untuk sekedar bersilaturahmi.
            “Hai, bagaimana kabarmu sekarang?” Tanya Ilham teman akrab ku. Dia orangnya sedikit pendek, hitam manis, kocak, dan tidak bisa diam. Bersama dengan gitar mungilnya.
            “Aku baik-baik saja, kalau kalian bagaimana? Kenapa jarang main lagi ke rumah ku?”
            Sambil tertawa seseorang datang telat, “Sibuk mempersiapkan melanjutkan sekolah.” Itulah yang dikatakan sahabatku Fauzi, memang dia narsis, dia berkaca mata, jago bernyanyi sekaligus bermain gitar, dan selalu dikelilingi wanita cantik.
            “Oh ya, logaritma apa kabar? Sudah lama kita tidak ke studio musik lagi, aku sudah rindu gitar! Sanggah Adit, seorang anak remaja yang memiliki rambut seperti paku menjulang ke atas. Memang lucu, tapi itu ciri khasnya.
            “Aku sudah buat puisi, coba kalian buatkan lagu, bisa tidak?” Kata seorang remaja berkulit sawo matang, berambut ikal, dan jago sekali bernyanyi layaknya Afgan. Memang dia adalah fansnya penyanyi itu, dan dia juga selalu meniru apapun yang artis idolanya itu lakukan. Namanya adalah Dwie.
            “Bagaimana kabar kalian semua? Oh ya bulan depan kita di undang untuk menghadiri pertemuan alumni SMP kita, kalian juga di tuntut menghibur dengan  beberapa lagu ciptaan kalian. Kata seorang remaja yang mempunyai fisik kurus, tinggi, putih, serta berkaca mata pula. Dia jago dalam hal management. Namanya adalah Iwan, sekaligus dia juga manager kami.
            “Wah! Ide bagus tuh, kira-kira kapan pastinya? Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan teman-teman kita dulu. Pasti sudah banyak yang berubah.” Kata seorang berparas kocak, tinggi berisi, berambut persis Tukul Arwana dan pintar serta jago dalam segala hal. Memang unik, tapi itulah kelebihannya. Namanya Ikbal, lengkapnya ialah Muhammad Ikbal.
            Tak kusadari hari sudah mulai senja, mereka pun kembali kepelatarannya masing-masing. Dan kembali aku kesepian di tengah-tengah ibu kota Jawa Barat ini, ku kembali berpikir dan menanti sebuah kebahagiaan yang selalu ku dambakan.
            Hari minggu, tepat 3 hari kakakku melakukan penelitiannya. Tiba-tiba suara telepon rumah memanggil keras.
            “Apa benar ini orang tuanya Keyla Putri Al Prasetya, mahasiswa ITB?”
            Ayah menjawab, “Ya benar, ada yang bisa saya bantu?”
            “Putri bapak mengalami kecelakaan terjatuh dari sebuah jembatan kayu pada saat melintasi sungai untuk melakukan penelitian, kepalanya terbentur batu sungai dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat.”
Seketika ayah tertegun tanpa kata sedikitpun, suasana tentram penuh syahdu berbalik menjadi genting, bagai burung enggan berkicau lagi, bagai layunya kembang Bandung. Kerasnya suara mesin-mesin jalanan tak mampu melukiskan kegelisahan hati keluargaku yang amat shock mendengar berita tersebut. Benturan ombak menabrak karang tak terbayangkan oleh kicauan burung yang membisu, sungguh sulit ku akui. Kakakku sedang mengalami musibah. Kami semua gelisah.
Segera kami semua bergegas mengemasi barang-barang dan berangkat menuju Yogyakarta. Dengan hati harap-harap cemas ayah berkata, “Kalian jangan khawatir, kakak akan baik-baik saja dan terus berdoa.” Walaupun sulit, dengan hati yang berdebar-debar menanti kabar keadaan saudara kandung ku yang selalu menemaniku di saat mengerjaan PR matematika. Memang aku sangat dekat dengan kakakku, tapi saat ini dia di sibukan dengan statusnya sebagai mahasiswa. Sampai pada saat kejadian yang tidak diinginkan ini terjadi. Jujur hati ini menyesal.
Tepat di kota Tasikmalaya. Aku dan ibu masih tertidur lelap hanya ayah saja yang dengan cermat mengendarai kendaraan roda 4. Disekeliling kota terdapat berbagai aneka sarana pencuci mata, tapi tak kurisaukan. Terik panas cahaya matahari menambah gersangnya jalanan pada saat ini, bagai mencari sumber air di timbunan batu aspal. Asap mengepul, knalpot berhembus, aku kira hanya asap biasa saja, aku tak menghiraukannya. Hanya satu yang ku pikirkan pada saat ini, keselamatan kakakku. Itu saja.
Bagai fatamorgana, Semua ketenangan tidur pun terhenyak dengan sedikit berteriak ayah berkata, “Cepat semua keluar dari mobil!”
Serentak aku dan ibu bangun terkaget-kaget. Sambil berkata, “Kenapa ini?”
“Bagian belakang mobil terbakar.” Kata ayah sambil berusaha keluar dari mobil.
Kami pun dengan cepat keluar dari mobil, ternyata bagian belakang mobil sudah terbakar. Ibu menangis ketakutan. Termasuk aku yang terperanga melihat kobaran api yang membludak membakar mobil kesayanganku. Ayah hanya bisa diam tanpa kata melihat si jago merah merenggut nasib mobilnya.
Truk merah dengan tangki besar pun tiba dengan selang panjangnya menyemprotkan H2O ke kijang rover merah yang terbakar itu. Warga pun ikut menjinakan api yang ganas itu dengan alat seadanya.
            Mencekam, itulah yang bisa digambarkan dari situasi ini. Hanya pasrah ke Rabb-Nya lah yang bisa keluargaku lakukan, berdoa agar diberi hikmah dari semua ini, agar situasi yang memang sulit dipungkiri ini bisa terkendali.
            Hangus tanpa sisa, itulah yang bisa ku gambarkan pada saat ini.
            “Ya Tuhan apakah ini cobaan dari-Mu? Berikanlah kami kekuatan untuk bisa melewatinya.” Ibu berkata sambil bersimpuh dalam tangisannya.
            Dengan segera ayah mengambil telepon genggamnya.
            “Kami mengalami kecelakaan.” Kata ayah menelpon rekan kerjanya Andi di Bandung.
Andi menjawab, “Dimana kalian? Bagaimana keadaan kalian sekarang? Kalian tidak apa-apa? Bagaimana bisa terjadi seperti itu?”
Dengan disertai getaran badan yang tertekan ayah menjawab, “Kami tidak apa-apa, semua selamat, kami butuh bantuan, kami bermaksud menuju Yogyakarta karena anak perempuan kami sedang di rawat di sana.”
Percakapan demi percakapan membuatku gelisah, suara gerumunan orang membuatku semakin cemas akan keadaan kakak di seberang sana. Aku ingin segera menemui kakak, hati ini kian berkecamuk menanti secercak harapan akan kegelisahan ini.
Dalam hati ku bergumam, “Bagaimanakah keadaan kakak sekarang?”
Mobil kijang hitam menghampiri kami yang sedang kebingungan. Seorang laki-laki matang, tinggi, berkulit putih dan sedikit berkumis keluar dari mobil itu. Ternyata! Ya itu Andi, kami tertolong.
Sepanjang perjalanan aku merenung dalam sejuta pikiran yang kusut, begitu banyak cobaan yang ku alami. Apakah ini ujian untuk ku agar aku menjadi kuat? Entah apa yang sang Khalik gariskan, entah apa yang Ia inginkan. “Give me a strength.” Ucapku.
“Ayo bangun! Kita sudah sampai di Rumah Sakit.” Kata ayah sambil mengelus kepalaku.
Kami semua bergegas menuju ruang UGD Rumah Sakit tersebut. Kakak sedang ditangani oleh pihak dokter. Aku dan ibu duduk di kursi tunggu sambil berdoa, sedangkan ayah mondar-mandir di depan pintu ruang penyelamatan itu. Dunia seakan berkecamuk, hawa panas menggelayut, kecemasan menjadi-jadi, termasuk suara ibu yang terisak-isak melantunkan doanya. Memang semua bukan mimpi, kenyataan yang memang sulit ku akui.
Dua jam kemudian sesosok laki-laki berpakaian hijau memakai tutup mulut keluar dari ruangan itu dan berkata, “Apakah kalian keluarganya?”
Dengan keadaan cemas dan mata berkaca-kaca ayah menjawabnya, “Iya dok, bagaimana keadaan anak saya?”
“Kritis, pasien sedang mengalami pendarahan di kepalanya yang dapat mengakibatkan gangguan saraf pada matanya.”       
Ibu terdiam dengan sejuta kecemasan di dadanya, kami tak kuasa mendengarnya, ditambah ayah yang berusaha meyakinkan dokter untuk menyelamatkan kakak. “Tolong lakukan apapun agar anak saya selamat dok.” Itu yang ayah katakana sambil duduk bersimpuh di hadapan dokter.
Dokter menjawab, ”Mari kita bicarakan di ruangan saya.”
            Kakak mengalami geger otak yang mengakibatkan kornea matanya retak. Itulah yang dokter katakan pada ayah. Sungguh riskan mendengarnya, tapi itu nyatanya. Dan sesalnya, tidak ada persediaan kornea mata yang diterima Rumah Sakit ini dari pendonor. Sudah berbagai Rumah Sakit dihubungi, tapi payah tidak ada titik terangnya. Beberapa anggota PMI telah dicoba, itu pun tidak ada hasil. Semua sanak saudara telah diberitahukan, dan hasilnya pun nihil.
            Kami pasrah, kami lelah mencari, kami putus asa dengan semua ini, kami sudah mencoba segala cara, mencari pendonor mata yang dermawan, tapi nol besar. Bahkan ayah sempat menyuruh dokter untuk mengambil di kamar mayat, kasihan ayah. Kami bersujud di hadapan-Mu, kami tak sanggup lagi menghadapi semua ini ya-Rabb.
            Sempat ada seorang dermawan yang hendak mendonorkan matanya tapi tidak cocok karena perbedaan golongan darah, seorang kakek renta rela mengorbankan korneanya tapi tidak bisa karena usia matanya sudah lanjut. Seorang gadis baru saja meninggal karena sakit, tapi sayang tidak bisa karena korneanya sudah terinfeksi virus.
            “Allahu’akbar Allahu’akbar.” Suara adzan magrib menggema ditengah kegelisahan kami. Ku tak kuasa menahan tangis di dalam sujudku, kami semua kacau tak terbayang. Hanya isak tangis yang bisa ku lakukan, ku cemas melihat ibu yang sedih dalam shalatnya, begitupun ayah.  Lantunan ayat demi ayat tak henti-henti mengalun deras dari mulut kedua orang tuaku. Kelelahan, kecemasan, kegelisahan kian bercampur dalam dada, langkah kaki renta, mata lebam tak kuasa lagi mengeluarkan air kesedihannya.
Di tengah kegalauan ku, bagai mencari mawar di gurun sahara. Bagai anak kecil menggapai bintang dengan tongkatnya, bagai tikus mencintai kucing. Kami semua terdiam dalam tanda tanya.
Dokter berkata, “Kemana saja kalian? Dari tadi saya menunggu kalian. Alhamdulillah anak ibu dan bapak berhasil mendapatkan kornea yang cocok, serta sudah melewati masa-masa kritis operasi transfer kornea matanya dan sekarang sedang dirawat intensif di ICU, dan Insya Allah bisa dilihat perkembangannya dalam waktu 2 atau 3 minggu kemudian setelah dibuka perban di kedua matanya.”
Subhanallah, seketika kami semua bersujud, bersimpuh di hadapan-Nya, berterimakasih atas keajaiban yang kami dapatkan. Lepaslah semua beban di pundak, terjawab sudah semua pertanyaan yang menggelayut di dada. Ku bahagia, ku senang, ku gembira, ku bersyukur. Alhamdulillah, itu yang bisa ku ucapkan atas semua keajaiban ini.
Dokter memberikan selembar kertas dengan kata-kata yang tersirat di dalamnya.
Ku bahagia jika kau pun bahagia, ku sedih kalau kamu menangis. Ku tak mau melihat cucuran air mata yang selalu mengalir deras dari mata indah mu. Maafkan aku, aku menghilang tak ada kabar, maafkan aku yang tak bisa ada selalu disamping mu, maafkan aku tak bisa memberikanmu kebahagiaan selama ini. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk menebus semua dosa ku di masa lampau. Hanya ini yang mampu ku ucapkan, hanya ini yang bisa ku perbuat semata-mata menitikan sedikit keajaiban akan kakak tersayang mu. Selain kata maaf yang diiringi dengan terima kasih. Semoga kamu bisa menerimanya.
Aku mencintaimu
Keysha Aldwiyha Prasmethi Putri
            Ku terpaku dalam jiwa yang hening meski suasana hati mencekam, “Dia? Apakah benar dia?”
***
            “Pesawat keberangkatan menuju Den Haag - Belanda sepuluh menit lagi akan segera di berangkatkan, mohon untuk para penumpang mempersiapkan barang bawaannya dan segera menuju ruang tunggu pintu masuk pesawat.” Seorang wanita muda berparas cantik, berambut sedang nan lurus seketika berdiri dari kursi besi berwarna silver tepat berada dalam ruang tunggu bandara, dengan menggunakan kaca mata hitam dengan gaya yang sedikit kikuk sambil tak henti-hentinya  tersenyum dan melenggang bersama seorang wanita berumur senja dengan membawa beberapa koper hitam yang dipegangnya tanpa tergambar ekspresi apapun.

* Sinopsis :
          Di tengah kegelisahan merindukan sang pelita hati, menanti kedatangan penerang jiwa, kesedihan di tinggalkan seseorang yang sangat berarti bagiku. Aku selalu termenung di teras rumahku dengan ditemani bintang dan bulan beserta secangkir teh hangat. Aku selalu berkeluh kesah kepada bintang akan semua masalahan ku.
            Dengan keluarga yang harmonis. Aku, kakak perempuanku, ayah, dan bunda. Tak pernah berselisih apapun, selalu bersenda gurau di sela percakapannya. Sampai pada suatu hari kakak meminta ijin kepada kami untuk melaksanakan perkemahan di Yogyakarta dalam rangka penelitian fakultasnya. Dan kami pun mengijinkannya.
Kecelakaan menimpa kakakku. Dia terjatuh dari atas jembatan suatu sungai kecil di daerah pedesaan dengan kepalanya membentur ke batu sungai. Kepala kakakku mengalami gangguan pada saraf matanya.
            Di tengah perjalanan menuju tempat kakakku, kami mengalami musibah. Mobil yang ditumpangiku mengalami kebakaran. Kami sekeluarga berusaha mencari pendonor kornea mata yang dermawan, tapi tidak berhasil. Berbagai cara telah kami tempuh untuk mendapatkan keajaiaban. Namun, hanya pasrah yang kami bisa lakukan.
Nurani bertanya-tanya entah siapa yang rela mendonorkan kornea matanya? Apakah ini jawaban atas semua doa-doaku? Apakah ini keajaiaban-Mu ya Tuhan? Siapakah dia? Bagaimanakah akhir ceritanya?
 

Muahammad Haris Prasetya, dilahirkan di kota Sukabumi Selatan pada tanggal 16 November 1994. Pendidikan yang pernah ia tempuh adalah TK Aisyiyah 4 Jampangkulon, SDN 2 Jampangkulon, SMPN 1 Jampangkulon, dan sekarang sedang melanjutkan sekolahnya di SMAN 1 Jampangkulon kelas X (tahun ajaran 2010/2011). Ia bertempat tinggal di Jalan Purwasedar 2, No : 57, Rt 02/01, Ds. Padajaya, Kec. Jampangkulon,  Sukabumi - Jawa Barat, bersama orang tuanya.
Hobinya adalah bermain badminton, serta memainkan alat musik drum. Cita-citanya ialah ingin menjadi seorang dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar