Search this bog

Selasa, 20 September 2011

Pemberantasan Korupsi


Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 41 menyebutkan, masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peran serta masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk memiliki hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, serta memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

Masyarakat juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Di samping itu, punya hak pula untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
Selain itu masyarakat juga berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, ketika diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Masyarakat juga mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Seluruh hak dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.

Pasal 42 menyebutkan, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Ketentuan pemberian penghargaan itu diatur dengan peraturan pemerintah. (P-4)

Direktur KPK menjelaskan sejarah panjang pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, pembentukan instansi-instansi pemberantas korupsi sudah sejak lama ada. Mulai dari 1957. Akan tetapi, hampir setiap sepuluh tahun sekali, didirikan lembaga sejenis untuk menggantikan yang lama. “Karena banyak fungsi organisasi yang disalahgunakan,” ujarnya. Bahkan menurutnya banyak yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu saja. “Dibutuhkan political will dari pemerintah untuk benar-benar melakukan pemberantasan korupsi,” tegasnya.


Pemberantasan KKN seperti yang sedang gencar dilakukan belakangan ini merupakan sebagai salah satu titik tolak reformasi. Dimana hal tersebut tertuang dalam Tap MPR NO.11/1998.

Sebelumnya, Ketua Barindo Kota Semarang terpilih, Untung Budiarso, menyuarakan agar uang hasil korupsi yang telah berhasil dikembalikan ke Negara, agar dipergunakan untuk rakyat. Yaitu, untuk tokoh veteran yang kehidupannya jauh dari kemakmuran. “Mereka dulunya telah gagah berjuang demi negara ini,” ujarnya.


Tesis yang menyebutkan bahwa aktor utama korupsi adalah pemerintah dan pengusaha, sementara masyarakat adalah korbannya hingga saat ini belum dapat terbantahkan. Landasan faktualnya memberikan legitimasi bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha bukanlah sesuatu yang direkayasa, tapi nyata dan selalu tetap hidup dalam ruang yang bernama kekuasaan.

Jikapun masyarakat kemudian terseret dalam arus kehidupan koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk bisa memperoleh hak-haknya. Kebiasan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.

Untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu/bulan, masyarakat yang sudah miskin terpaksa tunduk pada mekanisme penyunatan/pemotongan. Karena jika mereka tidak mengikuti, jangan berharap mereka dimasukan sebagai kelompok masyarakat miskin yang nantinya berhak memperoleh BLT. Celakanya, ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem koruptif itu harus dibayar mahal, yakni berkembang-biaknya sistem korupsi dalam kehidupan birokrasi (baca: pelayanan publik).

Dengan demikian, salah satu upaya yang sangat stategis untuk memberdayakan masyarakat dalam melawan korupsi adalah dengan memberikan mereka senjata untuk melawannya. Bahkan pada tingkat yang lebih maju, masyarakat tidak hanya dapat bertindak defensif dalam menghadapi sistem yang korup, tapi bisa secara ofensif berperan untuk memberantas korupsi.



Pertama, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi.

Data terakhir di KPK menyebutkan kurang lebih telah masuk sembilan ribu pengaduan masyarakat di seluruh Indonesia ke KPK. Meskipun setelah diteliti hanya sekitar seribuan kasus saja yang bisa dikategorikan korupsi, namun angka itu sudah cukup untuk dijadikan ukuran betapa harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi.


Kedua, peran sebagai trigger atau pemicu. Rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi telah melahirkan kekecewaan panjang dari masyarakat. Kebekuan ini kadangkala diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkret. Meskipun diakui strategi tersebut mengandung resiko besar, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.

Ketiga, peran sebagai controller (pengawas). Sudah bukan rahasia umum lagi jika laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Keluhan masyarakat bahwa informasi atau data yang mereka sampaikan hanya dijadikan sebagai alat oleh aparat penegak hukum untuk memeras juga tidak sedikit jumlahnya. Istilah di 86-kan kemudian menjadi populer sebagai bahan untuk menyindir aparat karena lamban atau setengah hati dalam mengusut sebuah laporan.

                                                 








"_Kelompok 5_" 

          
24-Point Star: Moderator  :
“Wiranda Intan Suri”       


Notched Right Arrow: Notulen	:
Octa Carolina
Ghina Fauzia
Ujang SuarnaCloud Callout: Narasumber	:
Muhammad Haris Prasetya
Yesi Yustiawati
Ali Agustiana
Isep Wahyudin                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar